Wrong date.
Tepat pukul 00:00, aku mulai mengayunkan tanganku. mengetikkan huruf demi huruf, merangkai kata demi kata, hanya untuk bercerita perihal tentangmu. kamu yang selama ini selalu tak pernah kupahami. kamu yang terlalu kuat menghadapi egoku, perlahan melemah. kamu yang terlalu sabar melihat tingkahku, perlahan merapuh. Bahkan, hingga detik ini, aku sama sekali tidak paham, mengapa aku selalu bertingkah seakan-akan kamu akan selalu memujaku. meskipun, walaupun, kapanpun, serta apapun yang terjadi. aku pikir, aku akan tetap menjadi nomor satu di hatimu. sisi aroganku begitu memuncak. hingga aku tidak menyadari perubahan yang perlahan kau tunjukkan kepadaku.
Kamu pasti begitu muak menghadapiku. hingga kata itu, yang tak pernah terpikirkan olehku terucap dari mulut mu yang biasa kamu pakai untuk merayuku. Kamu bilang kamu menyerah. Kamu lelah menghadapi tingkah kekanakanku yang selalu membuatmu risih. Kamu lelah menghadapi sikapku yang selalu ingin diperhatikan, tanpa mau memperhatikanmu kembali. Kamu lelah dan kamu menyerah! Dan aku hanya dapat meng'iya'kan dan mempasrahkan hatiku kala itu terjadi.
Jujur. Aku mulai benci perpisahan yang secara tidak langsung kau ungkapkan kepadaku ini. aku benci mendengar kata menyerah dari pecundang sepertimu. Bukankah seharusnya kamu harus lebih banyak bersabar? Bukankah seharusnya kamu harus terus mendambaku meski aku masih saja mengacuhkan setiap detik perhatianmu? Itukan yang selama ini selalu kamu ucapkan kepadaku?
Dasar bodoh! kamu kira, kamu bisa mengelabuiku? kamu kira kamu cukup hebat membohongiku? Harusnya, sejak awal aku tidak mempercayai perkataanmu. Seharusnya, sejak awal aku menentang omong kosongmu itu. Dan ternyata, kamu menang. Aku mulai percaya perkataan manis mu itu, perlahan. Dan, dengan perlahan pula, kamu mulai mengingkari kata-kata yang selalu kamu utarakan kepadaku itu.
Aku tidak habis fikir. orang macam apa dirimu? Hingga begitu mudah mengingkari kata-kata yang kau ikrarkan sendiri. Bukankah kamu tidak punya pendirian? Bukankah seharusnya jika kamu memilih satu, maka akan tetap satu sampai akhir kemudian.
Sungguh, aku tidak lagi mengerti apa yang harus aku lakukan. ketika kamu sudah mulai menyerah menghadapaiku, aku pikir tentang kita akan berakhir begitu saja. Ternyata aku salah. Bekas jejakmu, masih saja terkenang di dalam hati. Meski selalu coba ku ingkari, tetap saja. Bayangmu tidak bisa ku musnahkan begitu saja dalam otakku.
Dan...
Aku mulai merindukan setiap detik kehadiranmu.